PASAMAN BARAT, - - Adagium hukum: In Dubio Pro Reo, lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.
"Apa sesungguhnya fakta hukum yang dapat dan sah menurut hukum yang dijadikan Kapolres Pasaman, AKBP Fahmi Reza, untuk memerintahkan anggotanya menangkap saya ?"
Pertanyaan tersebut tidak pernah lekang dari pikiran Mustafa sejak dia ditangkap pada tanggal 11 Juni 2022 di rumahnya, di Jorong Sarik Selatan, Nagari Luhak Nan Duo, Kecamatan Luhak Nan Duo. Ditangkap anggota Polres Pasaman di wilayah yurisdiksi Polres Pasaman Barat.
Ketika terjadi penangkapan, Mustafa tidak tahu kapan dia dilaporkan, tidak tahu siapa yang melaporkannya, dan tidak tahu atas kasus apa. Sampai sekarangpun, dia tidak tahu kapan dia dilaporkan.
Sekarang, Mustafa hanya tahu, siapa yang melaporkannya dan atas kasus apa dia dilaporkan.
Katanya, setelah sampai di ruangan pemeriksaan di Mapolres Pasaman, ada salah seorang anggota polisi yang menjelaskan padanya, tetapi tidak menjelaskan kapan laporan polisinya.
"Saya dilaporkan oleh Firdam Idrus dkk, atas tuduhan membakar escavator yang melakukan penambangan emas secara illegal di area hutan konversi di antara kampung Sinuangon dengan Batangkundur", katanya.
"Kalau kejadian itu, viral beritanya, antara bulan Februari 2022 dengan Maret 2022, lebih tiga bulan lalu", sambungnya.
Setelah mengetahui atas tuduhan apa dia dilaporkan, timbul lagi pertanyaan dahsyat dalam pikiran Mustafa. "Mengapa saya tak pernah dipanggil ?", tanyanya.
Padahal, - - menurut Mustafa, - - setelah kejadian terbakarnya alat berat tersebut, dia tetap rutin ke kampung bersama istri berjualan kain. Tidak pernah terngiang informasi ke telinganya bahwa dia berstatus terlapor. Dan, tidak ada hambatan apapun bagi polisi untuk memanggilnya.
"Apakah sejatinya penangkapan saya adalah skenario, dan, saya ditarget ?", tanyanya lagi.
Diceritakan Mustafa, sepengetahuannya, tidak pernah ada orang Sinuangon atau orang manapun dipanggil sebelumnya sebagai saksi. Saksi-saksi yang memberikan keterangan, dipanggil dan memberikan keterangan setelah dia ditangkap.
Saksi-saksi yang dipanggil Polisi untuk memberikan keterangan dan berjumpa dengan Mustafa di Mapolres Pasaman, adalah yang biasa dipanggil: Riza, Iga, Nasir, Iyulhandri, dan Nopri. Semuanya penduduk kampung Sinuangon, kejorongan Sinuangon, Nagari Persiapan Cubadak Barat. Sekampung denganya. Tempat tinggalnya sekaran adalah tempat hijrah sejak puluhan tahun yang lalu.
Setelah dikonfirmasikan, salah seorang dari mereka, yang meminta namanya disembunyikan, membenarkan Mustafa. Saksi tersebut mengakui, tidak pernah dipanggil polisi sebelumnya untuk dimintai keterangan.
Dalam pemeriksaan saksi, - -dikatakan Mustafa, - - bahwa tidak satupun dari lima orang saksi tersebut yang memberikan keterangan sebagai orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Saksi tersebut juga membenarkan dalam konfirmasi melalui panggilan WA, Sabtu malam ( 10/9), bahwa dia tidak mendengar sendiri peristiwa itu terjadi, tidak mendengan sendiri ucapan si Mustafa dan si Tullah melakukan perbuatan tersebut, tidak melihat sendiri peristiwa kebakaran escavator tersebut, tidak melihat sendiri si Musrafa dan si Tullah melakukan perbuatan tersebut, dan tidak mengalami apapun terkait si Mustafa dan si Tullah melakukan perbuatan tersebut.
Sebagaimana diberitakan Prokabar.com, pada publikasinya, Selasa, 7 September 2022, Mustafa dan Tullah ditangkap anggota Polres Pasaman atas perintah Kapolres Pasaman atas tuduhan membakar escavator milik Firdam Idrus dkk, yang terbakarnya terjadi pada bulan Februari 2022 yang lalu. Kemudian dilepaskan karena tidak cukup bukti atas tuduhan.
Prokabar.com memberitakan, Mustafa mendapat perlakuan kekerasan dari polisi dalam proses penyelidikan setelah ditangkap. Hanya Mustafa yang mendapat kekerasan. Sedangkan si Tullah, tidak. Menurut beritanya, mereka diperlakukan berbeda.
Atas hal yang dialaminya, Mustafa melaporkan ke Polda Sumbar dengan laporan Nomor laporan di Polda, LP/B/229/VI/2022/SPKT Sbr tertanggal 14 Juni 2022. Telah divisum di RS Bhayangkara Padang. Saat divisum, masih terdapat luka lebam di dekujur tubuh Mustafa dan memar dibagian kepala di belakang telinganya.
Sementara itu, pengamat hukum pidana Profesor Elwi Danil dari Unand mengatakan, polisi memang memiliki kewenangan melakukan berbagai tindakan hukum di antaranya adalah melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana.
Tapi dalam penangkapan itu penyidik harus benar-benar memperhatikan aturan hukum yang berlaku dalam KUHP.
"Kemudian apakah penyidik polisi memiliki dua bukti permulaan yang cukup apa tidak, kalau seandainya tidak, tentu perbuatan penangkapan polisi tersebut merupakan perbuatan penangkapan yang tidak sah menurut hukum, ” ujarnya.
Apa yang diungkapkan Prof. Elwi Danil, ditanggapi oleh Syafei (61 tahun) yang tinggal di Pekanbaru. Menurut Syafei apa yang diungkapkan Prof. Elwi Danil tersebut adalah manifestasi dari adagium hukum: Dubio Pro Reo, lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.
"Apakah penangkapan Mustafa dan Tullah adalah rangkaian skenario dalam memelihara kelanggengan tambang illegal di Sinuangon yang dikelola oleh Firdan Idrus ?", ucap Syafei. "Kalau informasi yang saya dapat, uang koordinasinya ke 'atas' sejumlah Rp. 85 juta perbulan. Setoran bisa saja menghapus Dubio Pro Reo", sambung Syafei menutup sambungan celullernya.